FIKIH MUAMALAH, PENGERTIAN FIKIH MUAMALAH,PEMBAGIAN FIKIH MUAMALAH, RUANG LINGKUP FIKIH MUAMALAH, DAN SISTEM ISLAM EKONOMI CERAMAH
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur Saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya dan tidak lupa pula sholawat serta salam Saya panjatkan
kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Studi
“FIKIH MUAMALAH‘’serta teman-teman yang telah membantu Saya dalam pembuatan makalah ini,
sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul”PENGERTIAN
FIKIH MUAMALAH PEMBAGIAN RUANG LINGKUP, SISTEM EKONOMI ISLAM CERAMAH’’ Saya menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan dalam makalah ini, sehingga Saya senantiasa terbuka untuk
menerima saran dan kritik pembaca demi penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.
PADANGSIDIMPUAN, AGUSTUS
2017
Penulis,
Aminullah Hasibuan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 3
A.
PENDAHULUAN 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A.
PENEGERTIAN
FIKIH MUAMALAH 4
B.
PEMBAGIAN
FIQIH MU’AMALAH DAN RUANG LINGKUP 5
C.
SISTEM
EKONOMI ISLAM CERAMAH 6
D.
FIQIH
MU’AMALAH DAN HUKUM PERDATA 7
BAB III KESIMPULAN/PENUTUP 8
E.
KESIMPULAN/PENUTUP 8
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN FIKIH MUAMALAH
Kata fikih secara etimologis, berakar yang
artinya paham, mengerti, pintar dan kepintaran. Menunjukkan kepada maksud sesuatu”atau
ilmu pengetahuan.” Itulah sebabnya, setiap ilmu yang berkaitan dengan sesuatu,
disebut dengan fikih.
Zainuddin ali mengatakan bahwa kata fikih (fikih
dalam bahasa Indonesia) secara etimologis artinya paham, pengertian, dan
pengetahuaan. Fikih secara terminologis adalah hokum-hukum syara’ yang bersifat
praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci.
Kalau fikih dihubungkan dengan perkataan ilmu,
maka disebutlah ilmu fikih. Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan
menguraikaan norma-norma dasar dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Alqur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkaam dalam kitab-kitab hadis.
Pengertian ini menunjukkan, bahwa antara syariah dan fikih, mempunyai hubungan
yang sangat erat, yaitu dapat dibedaakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Manusia
adalah makhluk sosial yang berkodrat hidup dalam bermasyarakat. Sebagai makhluk
sosial dalam hidupnya manusia memerlukan manusia-manusia lain yang bersama-sama
hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau
tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Untuk itu
perlu kita ketahui juga bahwasanya dalam islam segala hal yang berkaitan dengan
manusia semuanya sudah diatur secara jelas. Aturan tersebut salah satunya yakni
terdapat dalam kajian tentang fiqh muamalah yang mana didalamnya mencakup
seluruh aturan sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian,
sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya.
Para ulama
mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak
henti-hentinya mempelajari semua fenomena dan permasalahan manusia atas dasar
ushul syariat dan kaidah-kaidahnya. Yang bertujuan untuk menjelaskan dan
menjawab hukum-hukum permasalahan tersebut supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya
dan setelahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN FIQIH MU’AMALAH
Fiqih Muamalah terdiri atas dua
kata, yaitu fiqih dan muamalah. Berikut penjelasan dari Fiqih, Muamalah, dan
Fiqih Muamalah.
Fiqih
Menurut etimologi, fiqih
adalah الفهم)) [paham],
seperti pernyataan : فقهت الدرس (saya paham pelajaran itu). Arti ini
sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari berikut:
من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ين
Artinya: “Barang siapa
yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya diberikan
kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”
Secara terminologi,
fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran
agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun ibadah sama dengan arti syari’ah
islamiyah.
Namun, pada perkembangan
selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum
syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa
dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
Muamalah
Secara etimologi, kata
muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang artinya saling
bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal.
Secara terminology Muamalah ialah
segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara
manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya.
Aturan agama yang mengatur
hubungan antar sesama manusia, dapat kita temukan dalam hukum Islam
tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan,
perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan
lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan,
minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang
dihalalkan atau yang diharamkan.
Muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan keduaa
dari segi istilah. Secara bahasa, muamalah berasal dari kata: “amala-yuamilu-mu’amalatan”
sama dengan wazan “faa’ala-yufaa’ilu-mufaa’alatan”, artinya saling berbuat, dan
saling mengamalkan.
B.
PEMBAGIAN FIQIH MUMALAH DAN RUANG LINGKUP FIQIH MU’AMALAH
Ruang lingkup fiqih muamalah
terbagi menjadi dua:
Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah
Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan
dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan,
pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya
dengan peredaran harta.
Al-Muamalah Al-Madiyah
1. Jual
beli (Al-bai’ at-Tijarah)
2. Gadai
(rahn)
3. Jaminan/
tanggungan (kafalah)
4. Pemindahan
utang (hiwalah)
5. Jatuh
bangkit (tafjis)
6. Batas
bertindak (al-hajru)
7. Perseroan
atau perkongsian (asy-syirkah)
8. Perseroan
harta dan tenaga (al-mudharabah)
9. Sewa
menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
10. Upah
(ujral al-amah)
11. Gugatan
(asy-syuf’ah)
12. Sayembara
(al-ji’alah)
13. Pembagian
kekayaan bersama (al-qisamah)
14. Pemberian
(al-hibbah)
15. Pembebasan
(al-ibra’), damai (ash-shulhu)
16. beberapa
masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit,
dan masalah lainnnya.
17. Pembagian
hasil pertanian (musaqah)
18. Kerjasama
dalam perdagangan (muzara’ah)
19. pembelian
barang lewat pemesanan (salam/salaf)
20. Pihak
penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)
21. Pinjaman
barang (‘ariyah)
22. Sewa
menyewa (al-ijarah)
23. Penitipan
barang (wadi’ah)
Ruang lingkup muamalah madiyah
ialah jual beli (al-bai’al-tijarah), gadai (al-rhan), jaminan dan tanggungan
(kafalan dan dlaman), pemindahan utang (hiwalah), jatuh bangkrut (taflish),
batasan bertindak (al-hajru), perseroan atau perkongsian (al-syirkah),
perseroan harta guna pakai (al-ariyah), barang titipan (al-wadiah), barang
temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-muzaraah), sewa- menyewa tanah
(al-mukhabarah), upah (al-ujrah al-amal), gugatan (al-syuf’ah), sayembara
(al-jialah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian ((al-hibbah),
pembebasan (al-ibra), damai (al-shulhu), dan ditambah dengan beberapa maasalah
mu’ ashirah mahadisah, seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah-masalah
baru lainnya.[1]
C. SISTEM EKONOMI
ISLAM CERAMAH
Seiring dengan bermunculannya
konsep-konsep bisnis baru yang menawarkan berbagai konsep transaksi bisnis,
tentu sebagai salah satu sumber hukum agama mayoritas di Indonesia seharusnya
fiqh muamalah juga harus lebih cekatan dalam menyiasati dan memecahkan masalah
hukum dari transaksi bisnis tersebut, kalau memang hal itu haram menurut agama
maka tugas para fuqaha baru adalah memunculkan konsep produk transaksi baru
yang mirip dengan transaksi tersebut tapi tetap sesuai dengan konsep syari’ah.
Jika dilihat perkembangan bisnis
sekarang, memang dapat disimpulkan bahwa konsep fiqh muamalah klasik tersebut
tidak relevan lagi dengan perkembangan bisnis sekarang oleh karena itu
kehadiran konsep fiqh muamalah kontemporer yang menawarkan konsep transaksi
bisnis kontemporer sangat membantu dalam memecahkan masalah ini, sehingga kita
sebagai ummat islam dapat dengan nyaman menjalankan bisnis tersebut tanpa
khawatir akan melanggar ketentuan yang ditetapkan hukum Islam.
Adapun hukum islam misalnya,
dalam pelaksanaan jual beli dapat kita ketahui bahwa jual beli hukumnya halal,
para ulama dan masyarakat luas telah sepakat tentang hukum kehalalan jual beli.
AllahH SWT berfirman.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam sebelumnya, para ulama
sepakat tentang kebolehan atau kehalalan berdagang (jualbeli). Meskipun
demikian, tidak berarti setiap jual beli itu halal, mengingat ada sejumlah akad
jual beli yang dikategorikan haram.[2]
D. FIKIH MUAMALAH DAN HUKUM PERDATA
Di atas telah disinggung, bahwa para ulama fikih telah mencoba mengadakan
pembidangan ilmu fikih. Namun demikian, diantara mereka terjadi perbedaan
pendapat dalam melaksanakan pembidangannya, berikut ini adalah pembagiannya.
a.
Fikih terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Ibadah
2.
Muamalah
b.
Fikih terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Ibadah
2.
Muamalah
3.
Uqubah (pidana Islam)
c.
Ada pula yang membaginya menjadi empat bagian, yaitu:
1.
Ibadah
2.
Muamalah
3.
Munakahat
4.
Uqubah (pidana Islam)
Menurut Rachmat Syafi’I, diantara pembagian diatas, pembagian pertama lebih
banyak disepakati oleh para ulama. Hanya saja, maksud dari muamalah diatas
adalah dalam arti luas, serta mencakup bidang-bidang fikih lainnya.
Hukum perdata positif (yang sedang berlaku) di Indonesia mengatur hokum
orang pribadi dan hokum keluarga, hokum benda dan hukum waris, hukum perikatan, bukti, dan daluarsa. Bila
dicermati ternyata fikih muamalah termasuk ke dalam hukum perdata, hanya saja mungkin di antara kaum muslimin masih ada yang
kurang memperhatikan masalah tersebut.
Dalam pandangan ilmuwan muslim, hokum Islam bukanlah sebuah pengkajian yang
berdiri sendiri atau empiris. Hukum Islam adalah aspek praktis doktrin social
dan keagamaan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam generasi
awal, hamper-hampir tidak ada perbedaan antara sesuatu yang bersifat legal atau
sesuatu yang bersifat ke agamaan.[3]
BAB III
KESIMPULAN
E. KESIMPULAN
Muamalah dalam pembahasan luas mencakup masalah al-ahwal al-syaksiyah,
hokum keluarga yang mengatur suami istri, anak, dan keluarganya. Pokok
kajiannya meliputi munakhat, mawaris, dan wafat. Wakaf termasuk bidang ibadah
bila ditinjau dari segi niat (maksud), kemungkinan masuk al-ahkwal
al-syaksiyah bila wakaf itu wakaf dzuri yaitu wakaf untuk keluarga.
Akan tetapi perlu diingat juga
bahwa sebagian besar konsep fiqh muamalah kontemporer itu masih banyak
mengasopsi konsep fiqh muamalah klasik karena para ulama kontemporer tetap
memakai prinsip-prinsip hukum muamalah klasik dalam menetapkan hukum transaksi
muamalah kontemporer karena memang prinsip itu tidak dapat dihilangkan, hanya
saja melalui proses ijtihad yang disesuaikan dengan konteks sekarang.
Ada beberapa faktor yang dapat
dijadikan sebagai acuan dalam menilai terjadinya perubahan, yaitu faktor
tempat, faktor zaman, faktor kondisi social, faktor niat, dan faktor adat
kebiasaan.
Pada dasarnya, kita masih dapat
menerapkan kaidah-kaidah muamalat klasik namun tidak semuanya dapat diterapkan
pada bentuk transaksi yang ada pada saat ini. Dengan alasan karena telah
berubahnya sosio-ekonomi masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Sohari sahrani, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2011.
Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2011.
Harjan Syuhada, Fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Abu Achmadi, fikih,
Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Sunarso, fikih, Pt
Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Mas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2002.
Ahmad , Idris. Fiqh Syafi'i.
Volume 2. t.tp: Karya Indah, 2006.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulu>ghul
Mara>m. Bandung: Penerbit Khazanah PT Mizan Pustaka. 2010.
Al-Fauzan, Saleh. Fiqih
Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press. 2005.
Kamil, Muhammad Qasim. Halal Haram Dalam
Islam. Depok: Mutiara Allamah Utama. 2014.
x
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMaspuan Hrp: jadi menurut saudara bagaimana prinsip-prinsip ekonomi islam menurut AL-Qur'an coba jelaskan dalil dan haditsnya, dan coba jelaskan perbedaan dan persamaan mu'amalah adabiyah dan mu'amalah madiyah
BalasHapusAdapun hukum islam misalnya, dalam pelaksanaan jual beli dapat kita ketahui bahwa jual beli hukumnya halal, para ulama dan masyarakat luas telah sepakat tentang hukum kehalalan jual beli. AllahH SWT berfirman.
Hapusالَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
jadi dapat diketahui bahwa Allah menghalalkannya, adapun perbedaan nya bahwa setelah sudah diteliti dari sumber buku yang ditemukan bahwa sanya adabiyah, membahas tentang ijab dan kabul, sementara madiyah membahas tentang jual beli, persamaannya tanpa ijab kabul maka tidak ada jual beli, jadi disini sama-sama saling tergantung.menurut sumber yang diteliti... mungkin masih banyak ditemukan pendapat lain...
sekian dari saya....:)
terima kasih kak blog nya sangat membantusekali, semoga sukses selalu kak
BalasHapusSaya thasya nur oktavia dari ISB Atma Luhur