HARTA, PENGERTIAN HARTA PEMBAGIAN JENIS HARTA FUNGSI HARTA CERAMAH
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur Saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya dan tidak lupa pula sholawat serta salam Saya panjatkan
kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Studi
“FIKIH MUAMALAH‘’serta teman-teman yang telah membantu Saya dalam pembuatan makalah ini,
sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul”PENGERTIAN
HARTA, PEMBAGIAN JENIS HARTA, FUNGSI HARTA CERAMAH’’ Saya menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan dalam makalah ini, sehingga Saya senantiasa terbuka untuk
menerima saran dan kritik pembaca demi penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.
PADANGSIDIMPUAN, SEPTEMBER
2017
Penulis,
Aminullah Hasibuan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 3
A.
PENDAHULUAN 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A.
PENGERTIAN
HARTA 4
B.
PEMBAGIAN JENIS
HARTA 5
C.
FUNGSI HARTA
CERAMAH 7
D.
UNSUR-UNSUR
HARTA 8
BAB III KESIMPULAN/PENUTUP 9
E.
KESIMPULAN/PENUTUP 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN TENTANG HARTA
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-mal atau
jamaknya al-amwal(Munawir, 1984). Harta (al-mal) menurut
kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min kulli
syai (segala sesuatu yang engkau punyai).
Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang
dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti
jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian (An-Nabhani, 1990). Di
dalam Al Quran, kata al mal dengan berbagai bentuknya disebut
87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat.
Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang
digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi), seperti uang, tanah,
kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil
perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam
sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar
anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.
Menurut Jumhur ulama, al-Mal (harta):
كل ما له قيمة يلزم متلفها بضمانه
Segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang
yang merusak atau melenyapkannya.
Menurut Hanafiyah: Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil,
disimpan, dan dapat dimanfaatkan. Menurut definisi ini, harta memiliki dua
unsur, yaitu:
1.
Harta dapat dikuasai dan dipelihara secara nyata. Sesuatu yang tidak
bisa disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan,
kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.
2. Dapat dimanfaatkan menurut
kebiasaan. Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan
yang basi, tidak dapat disebut harta; atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan
tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam
tanah, dan lain-lain.
Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan,
kecuali kalau disatukan dengan sesuatu yang lain.
Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah
dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat.
Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat
dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain hanafiyah (jumhur),manfaat
termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya.
Jadi, perbedaan esensi harta antara ulama Hanafiyah dan Jumhur:
1. Bagi jumhur ulama harta
tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di
dalamnya.
2.
Adapun menurut ulama mazhab Hanafi harta hanya menyangkut materi, sedangkan
manfaat termasuk ke dalam pengertian hak milik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HARTA
Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal
berarti condong, cenderung, dan miring. Imam Hanafi memebedakan hata dengan
milik. Menurutnya, milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan
tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain.
Sedangkan harta adalah segala sesuatu yang
dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta
bisa dicampuri oleh orang lain. Jadi, yang dimaksud dengan harta adalah menurut
Hanafiyah, hanyalah sesuatu yang berwujud ayan.
Sementara menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy,
yang dimaksud dengan harta ialah:
a. Nama selain manusia yang diciptakan
Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada
suatu tempat, dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar,
b. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia
maupun oleh sebagian manusia,
c. Sesuatu yang sah untuk diperjual belikan,
d. Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) seperti sebiji
beras dapat dimiliki oleh manusia, dapat diambil kegunaannya dan dapat
disimpan, tetapi sebiji beras menurut ‘urf tidak bernilai ((berharga), maka
sebiji beras tidak termasuk harta.
e. Sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil
manfaatnya tidak termasuk harta, misalnya manfaat, karena manfaat tidak
berwujud sehingga tidak termasuk harta, dan
f. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat
diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.
Uraian tersebut memperlihatkan, bahwa para
ulama masih berbeda pendapat dalam menentukan defenisi harta, sehingga terjadi
perselisihan pendapat di antara para ulama dalam pembagian harta karena berbeda
dalam pendefenisian harta tersebut. Namun di sini dapat diperhatikan, bahwa
para penekanan para ulama dalam mendefenisikan harta itu adalah sebagai
berikut.
a.
Hasby Ash-Shiddieqy menyebutkan, bahwa harta
adalah nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat
diperjualbelikan dan dapat berharga, konsekuensi logis perumusan ini ialah:
1)
Manusia bukanlah harta sekalipun berwujud;
2)
Babi bukanlah harta akrena babi bagi muslimin
haram diperjualbelikan;
3)
Sebiji bers bukanlah harta, karena sebiji
beras tidak memiliki nilai (harga) menurut (urf)
B. PEMBAGIAN JENIS HARTA
Harta terdiri atas beberapa bagian, tiap-tiap
bagian memiliki cirri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini
ialah sebagai berikut.
1. Harta mutawaqwwim dang hair mutaqawwim
a. Harta mutaqawwim ialah semua harta yang mencakup jenis maupun cara
memperoleh dan penggunaannya. Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat Islam,
tetapi kerbau tersebut disembelih tidak sah menurut syara’.
b. Harta ghair mutawaqqim ialah kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni yang
tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara
penggunaannya. Misalnya, babi termasuk harta ghair mutaqawwim, karena jenisnya.
Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwim, karena
cara memperolehnya dengan cara yang haram.
2.
Harta mitsili dan mal qimi
a. Harta mitsli terbagi menjadi empat bagian, yaitu harta yang ditakar
(seperti gandum), harta yang ditimbang (seperti kapas dan besi), harta yang
dihitung seperti (telur), dan harta yang dijual dengan meter (seperti pakaian,
papan, dan lain-lain).
b. Harta qimi ialah harta yang jenisnya sulit didapatkan di pasar, bias
diperoleh tapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya. Jadi, harta yang
ada imbangannya (persamaannya) disebut mitsli dan harta yang tidak ada
imbangannya disebut qimi.
3.
Harta istihlaki dan harta isti’mali
a. Harta istihlaki ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas
(nyata) zatnya dan sekali digunakan habis. Misalnya korek api, bila dibakar
maka habislah harta yang berupa kayu itu.
b. Harta isti’mal ialah tidak habis sekali digunaka, tetapi dapat digunakan
lama menurut apa adanya, seperti kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dan lain
sebagainya. Perbedan harta dua jenis ini ialah, harta istihlak habis satu kali
digunakan, sedangkan harta isti’mal tidak habis dalam satu kali pemanfaatan.
4.
Harta manqul dan harta Ghair manqul
a. Harta manqul ialah harta yang bias dipindahkan (manqul), seperti emas, perak,
perunggu, pakaian, kendaraan, dan lain sebagainya.
b. Harta ghair manqul ialah seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dan yang
lainnya termasuk harta ghair manqul karena tidak dapat dipindahkan. Dalam hokum
perdata positif digunakan istilah benda bergerak dan benda tetap.
5.
Harta’ain dan harta dayn
a. Harta’ain ialah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, beras,
jambu, kendaraan (mobil), dan yang lainnya. Harta’ain terbagi menjadi dua,
yaitu’ain dzati qimah dan ain’ghyar qimah. Harta’ain ghyar qimah, yaitu benda
yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki harga, misalnya
sebiji beras.
b.
Harta dayn ialah: “sesuatu yang berada dalam
tanggung jawab.” Seperti uang yang berada dalam tanggung jawab seseorang. Dalam
kaitan ini ulama Hanafiyah berpendapat bahwa harta tidak dapat dibagi menjadi
harta’ain dan dayn karena harta menurut Hanafiyah ialah sesuatu yang berwujud,
maka sesuatu yang tidak berwujud
tidaklah dianggap sebagai harta, misalnya utang tidak dipandang sebagai
harta tetapi utang menurut Hanafiyah adalah washf fi al-dhimmah.
6.
Harta al-‘ain dan mal al-nafi’I (manfaat)
a. Harta’ain ialah benda yang memiliki nilai dan bentuk (berwujud), misalnya
rumah, ternah, dan lainnya.
b. Harta nai’f ialah a’raddl yang beragsur-angsur tumbuh menurut perkembangan
masa, oleh karenaa itu mal al-naf’I tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa
harta’ ain dan harta naf’i ada perbedaan, dan manfaat dianggap sebagai harta
mutaqawwim (harta yang dapat diambil manfaatnya) karena manfaat adalah sesuatu
yang dimaksud dari pemilikan harta benda. Hanafiyah berpendapat sebaliknya,
bahwa manfaat dianggap bukan harta, karena manfaat tidak berwujud, tidak
mungkin untuk disimpan, maka manfaat tidaak termasuk harta, manfaat adalah
milik.
7.
Harta mamluk, mubah dan mahjur
a.
Harta mamluk ialah harta perorangan (mustaqil)
yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan.
b.
Harta mubah ialah “sesuatu yang pada asalnya
bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut,
pohon-pohon dihutan dan buah-buahanya.”
c.
Harta mahjur ialah:”sesuatu yang tidak boleh
dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syariat, adakalanya
benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum,
sperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.”
8.
Harta yang dapat dibagi atau tidak dapat
dibagi
a.
Harta yang dapat dibagi (mal qabil li
al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila
harta itu dibagi-bagi, misalnya beras tepung, dan lainnya.
b.
Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil
li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan
apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja, dan lainnya.
9.
Harta pokok dan harta hasil (tsamrah)
a.
Harta pokok ialah: “Harta yang mungkin darinya
terjadi harta yang lain.”
b.
Harta hasil (tsamrah) ialah:”Harta yang
terjadi dari harta yang lain.”
10.
Harta khas dan harta ‘am
a. Harta khas ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak
boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemilikanya. Harta ‘am ialah harta
milik umum.
C. FUNGSI HARTA CERAMAH
Bila ditinjau dari syariat Islam, maka fungsi
harta disini angat banyak, baik kegunaan dalam hal yang bagus, maupun kegunaan
dalam hal yang buruk. Diantara sekian banyak fungsi harta, antara lain sebagai
berikut.
a.
Harta berfungsi untuk menyempurnakan
pelaksanaan ibadah yang khas (madhah), sebab untuk ibadah diperlukan alat-alat
seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk
melaksanakan ibadah haji, berzakat, sedekah, hibah, wakaf, dan lainya.
b.
Fungsi lain dari harta adalah untuk
meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah swt., sebab kekafiran cenderung
mendekatkan diri pada kekufuran, sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk
meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt.
c.
Harta juga berfungsi untuk meneruskan
kehidupan dari satu periode keperiode berikutnya.
d.
Harta berfungsi sebagai penyeimbang antara
kehidupan dunia dan akhirat.
e.
Harta berfungsi sebagai sarana atau modal
pokok untuk mengembangkan dan menegakan ilmu-ilmu, karena ilmu tanpa modal akan
terasa sulit, misalnya, seseorang tidak bias kuliah di perguruan tinggi, bila
ia tidak memiliki biaya.
f.
Harta juga berfungsi untuk memutarkan
(mentasharuf) peranan-peranan kehidupan seperti adanya pembantu dan tuan,
adanya orang kaya dan orang miskin yang saling membutuhkan, sehingga
tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
g.
Untuk menumbukan silaturahmi, misalnya karena
adanya perbedaan dan keperluan. Serang merupakan daerah penghasil emping,
Palembang merupakan penghasil nanas dan empek-empek, maka orang Palembang yang
membutuhkan emping akan membeli produk orang serang, dan orang serang yang akan
memerlukan nanas akan membeli produk orang Palembang. Dengan begitu, terjadilah
interaksi dan komunikasi dan silaturahmi dalam rangka saling mencukupi
kebutuhan. Oleh karena itu, perputaran harta dianjurkan oleh Allah swt.[1]
D. UNSUR-UNSUR HARTA
Para fukaha membagi harta menjadi dua unsure,
yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ‘urf. Unsur aniyah ialah, harta itu ada wujudnya
dalam kenyataan (a’yan). Manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak
disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak.
Unsure u’rf ialah segala sesuatu yang
dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia
memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun
manfaat ma’nawiyah.
Junus Gozali mengemukakan, bahwa harta terdiri
atas dua unsure, yaitu:
a. Benda tetap, yaitu benda yang tidak mungkin bias dipindahkan, misalnya
tanah:
b. Benda bergerak, yaitu benda yang dapat dipindahkan dari tempat yang satu
ketempat lainnya, seperti tanaman, pohon, bangunan, rumah, hewan, dan
barang-barang yang lain.
Menurut Imam Malik, rumah dan pohon termasuk
benda tetap. Menurutnya, benda yang dapat dipindahkan itu adalah sesuatu yang
manakala harus dihancurkan terlebih dahulu agar menjadi rusak, seperti halnya
pohon, kalau dipindahkan menjadi kayu.
Adapun manfaat pembagian benda tetap dan benda
bergerak adalah sebagai berikut.
a. Benda tetap sah pengambilannya dengan syuf’ah tanpa benda bergerak, kecuali
pendapat sebagaian fukaha.
b. Tidak boleh bagi yang diberi wasiat menjual barang (benda tetap) milik
orang yang dalam kritis (karena sakit keras, atau yang mendekati ajalnya), atau
yang masih dibawah umur (belum dewasa), kecuali ada sebab yang membolehkannya.
Seperti masih adanya utang, atau ada keperluan yang sangat mendesak, tetapi
baginya dapat menjual benda bergerak yang dipandang maslahat dalam
penjualannya.
c. Tidak ada perbedaan pendapat dalam ke absahan wakaf benda tetaap, tetapi
dalam ke absahan wakaf benda bergerak
yang dipandang maslahat dalam penjualannya.
d. Boleh menjual benda tetaap sebelum diterimanya, berbeda dengan benda
bergerak.
Pembagian harta ini manfaatnya adalah untuk
memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan, baik dalam
masalah hartaa yang diperjualbelikan, diwakafkan maupun harta wasiat yang
diberikan kepada anak yang belum dewasa, atau kepada orang yang keadaan sakit
parah.[2]
BAB III
KESIMPULAN/PENUTUP
E.
KESIMPULAN/PENUTUP
Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan
kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan
dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan
makanan dan minuman, maka kita harus memakan dan meminumnya sampai bentuk
fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang tersebut tidak akan mendatangkan
manfaat, kecuali dengan merusaknya.
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakanya.
Ketika uang tersebut keluar dari sakudan genggaman sang pemilik, maka uang
tersebut inyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi milik orang lain,
walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya,
harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi sekali saja.
Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderung mempersempit
makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul
adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat
ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti
kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara
asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin
dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti
pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.
DAFTAR PUSTAKA
Sohari sahrani, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2011.
Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2011.
Harjan Syuhada, Fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Abu Achmadi, fikih,
Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Sunarso, fikih, Pt
Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Mas’adi,
Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2002.
Ahmad , Idris. Fiqh Syafi'i. Volume 2.
t.tp: Karya Indah, 2006.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulu>ghul
Mara>m. Bandung: Penerbit Khazanah PT Mizan Pustaka. 2010.
Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari.
Jakarta: Gema Insani Press. 2005.
Kamil, Muhammad Qasim. Halal Haram Dalam Islam. Depok:
Mutiara Allamah Utama. 2014.
Komentar
Posting Komentar