RIBA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur Saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya dan tidak lupa pula sholawat serta salam Saya panjatkan kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Studi “FIKIH MUAMALAH‘’serta teman-teman yang telah membantu Saya dalam pembuatan makalah ini, sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul”PENGERTIAN RIBA, DASAR HUKUM RIBA, MACAM-MACAM RIBA’’ Saya  menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, sehingga Saya senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik pembaca demi penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.                             
            PADANGSIDIMPUAN, SEPTEMBER 2017
Penulis,



Aminullah Hasibuan






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                  i
DAFTAR ISI                                                                                                  ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                             3
A.   PENDAHULUAN                                                                               3
BAB II PEMBAHASAN                                                                                 4
A.   PENGERTIAN  RIBA                                                                                    4
B.   MACAM-MACAM RIBA                                                                   5
C.   HUKUM BUNGAN BANK EKONOMI                                         6
D.   HUKUM RIBA                                                                                                8
     
BAB III KESIMPULAN/PENUTUP                                                               9
E.    KESIMPULAN/PENUTUP                                                                9
DAFTAR PUSTAKA                                                                                     10












BAB I
PENDAHULUAN
A.     PENDAHULUAN
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syari'at Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi dibidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari.
Pada dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut bisa berupa qard1 , buyu'2 dan lain sebagainya. Para ulama menetapkan 1 Qard berasal dari kata قضضر - يقرض - قرض yang berarti pinjaman. Lihat kamus alMunawir, kamus Arab-Indonesia, cet. 14. (Yogyakarta: PP. al-Munawwir, 1997), hal. 1108. menurut Abdurrahman al-Jaziri qard adalah harta yang diambil oleh orang yang meminjam karena orang yang meminjam tersebut memotong dari harta miliknya, dalam kitab al-fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, (Beirut: dar al-Fikr, 1972), II: 338. 2 Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan artinya, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian.
Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah SAW. Bersabda, "dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli." Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kondisi kompensasi pembayaran.
Lihat dalam karyanya, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. cet. I, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hal. 89-90. menurut Chairuman dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RIBA
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),6 berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) 7 dan meningkat (alirtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak. Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba.
Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram. 6 Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: alIkhlas, 1993), hal. 125. menurutnya riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.
Menurut Syaikh Abul A'la al-Maududi An-Numuw adalah pertumbuhan dan Al-'Uluw adalah tinggi, lihat, Bicara Tentang Bunga Bank dan Riba, hal. 110. 8 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA, 1996), hal. 37. Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar.
Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) samasama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Timbullah pertanyaan, di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.
B. MACAM-MACAM RIBA
Menurut Ibnu al-Jauziyah dalam kitab “I’lam al-Muwaqi’in Rab al-‘Alamin” yang dikutip oleh Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa riba dibagi menjadi dua bagian, riba jalidan riba khafiRiba jali sama dengan riba nasi’ah, sedangkan riba khafi merupakan jalan yang menyampaikan kepada riba jali. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah Riba jali adalah riba yang nyata bahaya dan mudaratnya, sedangkan riba khafi adalah riba yang tersembunyi  bahaya dan mudaratnya.
Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi empat macam, yaitu fadhli, qardhi, yad, dan nasa’. Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, riba dibagi menjadi tiga bagian, yaitufadli, nasa’ dan yad. Adapun riba qardhi dikategorikan pada riba nasa’.
Menurut para ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman, riba terbagi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Riba Fadhli
Yaitu tukar menukar barang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda, misalnya menukar 10 kg beras dengan 11 kg beras. Barang yang sejenis, misalnya beras dengan beras, uang dengan uang, emas dengan emas.
2.      Riba Qardi
Yaitu utang piutang dengan menarik keuntungan bagi piutangnya, misalnya, seseorang berutang Rp. 25.000,- dengan perjanjian akan dibayar Rp. 26.000,- atau seperti rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengembalian 30% perbulan.
3.      Riba Yadh
Yaitu jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang dibelinya dari si penjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepada siapapun, sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang pertama.
4.      Riba Nasa’i
Yaitu melebihkan pembayaran barang yang diperjualbelikan atau diutangkan karena dilambatkan waktu pembayaran. Misalnya, menjual emas seharga Rp. 200.000,- jika dijual tunai, dan menjual seharga Rp. 300.000,- jika diangsur (kredit). [1]


C. HUKUM BUNGAN BANK EKONOMI
1.      Dalam Al-Qur’an Allah ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.[QS. Al-Baqarah: 275].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.[QS.Al-Imran:130]
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”[QS. Al-Rum: 39].
2.      Dalam As-Sunnah Rasulullah saw. Bersabda :
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, dan orang tersebut mengetahuinya dosa perbuatan tersebut lebih berat dari pada dosa tiga puluh enam kali zina.”[ riwayat Ahmad].

Sebab-sebab Diharamkannya Riba
1.      Riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp.10.000,00 dengan uang recehan senilai Rp.950,00 maka uang senilai Rp.50,00 tidak ada imbangannya, maka uang senilai Rp.50,00 adalah riba.
2.      Dengan melakukan riba, orang menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’. Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih suka beternak uang karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada  kita harus bekerja dengan susah payah. Seperti orang yang memiliki uang Rp.1.000.000.000,00 cukup disimpan di bank dan ia memperoleh bunga sebesar 2% tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh uang tanpa kerja keras setiap bulan dari bank tempat uang disimpan, sebesar Rp.20.000.000,00.
3.      Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara piutang atau menghilangkan manfaat utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras orang miskin daripada menolong orang miskin.
D.   Hal-Hal yang Menimbulkan Riba
Dalam pelaksanaannya, masalah riba diawali dengan adanya rangsangan seseorang untuk mendapatkan keuntungan yang dianggap besar dan menggiurkan. Dalam kaitan ini Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu emas dan perak dengan sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah, dan yang lainnya, maka disyaratkansebagai berikut.
1.      Sama nilainya (tamsul).
2.      Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya, maupun ukurannya.
3.      Sama-sama tunai (taqabut) di majelis akad.
Berikut ini merupakan contoh-contoh riba pertukaran.
1.      Seseorang menukar langsung uang kertas Rp.10.000,00 dengan uang recehan Rp.9.950,00  uang Rp.50,00 tidak ada imbangannya atau tidak tamasul, maka uang Rp.50,00 adalah riba.
2.      Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp.100.000,00 dengan syarat dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dari pokok pinjaman adalah riba sebab tidak ada imbangannya.
3.      Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog, maka pertukaran tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar dengan beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
4.      Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5 Desember 1996, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat salah satunya dan berpisah sebelum serah terima barang.
5.      Seseorang yang menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun harganya sama ukurannya tidak sama.
D.   HUKUM RIBA
Riba diharamkan oleh seluruh agama Samawi, dianggap membahayakan oleh agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Di dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa jika kamu mengqiradhkan harta kepada salah seorang putera bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan kau meminta keuntungan untuk hartamau(ayat 25 pasal 22 kitab Keluaran). Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah.  Jangan kau meminta darinya keuntungan dan manfaat (ayat 35 pasal 25 Kitab Imamat).
Al Qur’an menyinggung masalah riba dalam berbagai tempat dan tersusun secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Pada periode Makkah, turun firman Allah yang berbunyi :
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”[QS. Al-Rum: 39].
     Pada periode Madina, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas-jelas yaitu seperti tercantum dalam surat Al-Imran ayat 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.[QS.Al-Imran:130]
      Riba yang dimaksud dalam ayat diatas ialah riba nasi’ah yang berlipat ganda yang umumnya terjadi pada masyarakat Arab zaman Jahiliyah. Menurut sebagian besar ulama, bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.[2]






BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN
A. PENUTUP/KESIMPULAN
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlahpinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Macam-macam riba yaitu: Riba Yad,Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah.
Di masa sekarang ini riba banyak di temukan di bank konvensional. Faktor-faktor yang melatar belakangi perbuatan memakan hasil riba yaitu: Nafsu dunia kepada harta benda, serakah harta, tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan, imannya lemah, serta selalu ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba.












DAFTAR PUSTAKA
Sohari sahrani, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Harjan Syuhada, Fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Abu Achmadi, fikih,  Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Sunarso, fikih,  Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Mas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
 Ahmad , Idris. Fiqh Syafi'i. Volume 2. t.tp: Karya Indah, 2006.
 Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulu>ghul Mara>m. Bandung: Penerbit Khazanah PT Mizan Pustaka. 2010.
 Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press. 2005.
ABDUL RAHMAN GHAZALY, FIQH MUAMALAT, PT Kharisma Utama: Jakarta, 2015.






[1] Sohari sahrani, fikih muamalah, ( Bogor: penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 58.
[2] Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH. (BANDUNG: IAIN Sunan Gunung Jati, 2003). Hlm. 59.

Komentar

Postingan Populer