PERIKATAN DAN PERJANJIAN AL-UQUD
BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN
Secara etimologi akad berarti perikatan, perjanjian, dan dan
permufakatan (al-ittifaq). Secara terminology, akad adalah “pertalian ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai
dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan”.
Rukun-rukun akad sebagai berikut:
a.
‘aqid,
yaitu orang yang berakad;
b.
Ma’qud’alaih,
yaitu benda-benda yang diakadkan,
c.
Maudhu’
al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok menagadakan akad. Dalam akad jual beli
misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli
dengan diberi ganti.
d.
Shighat
al-‘aqd yaitu ijab kabul.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ASAL –USUL’AQAD
Syariat
Islam mengajarkan kepada manusia agar menjalankan segala aktivitasnya
berdasarkan aturan yang telah ditentukan oleh Allah swt. Dan Rasul-Nya.
Begitupun dalam men-tasrruf-kan (menjalankan) kegiatan muamalah, hendaknya
berdasarkan tata cara yang baik dan diridhai oleh Allah swt.
Tasharruf
terbagi dua, yaitu tasharruf fi’li dan tasharuf qauli. Tasharuf fi’li ialah
usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain lidah. Misalnya
memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli, merusak benda
orang lain.
Sedangkan
tasharuf qauli ialah tasharuf yang keluar dari lidah manusia. Tasharuf qauli
terbagi dua, contoh tasharuf qauli’aqdi, adalah jual beli, sewa menyewa, dan
perkongsian. Tasharruf qauli bukan ‘aqdi ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
a.
Merupakan
pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, talak,
dan memerdekakan.
b.
Tidak
menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntunan-tuntunan hak.
Misalnya gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan, jenis yang kedua ini tak
ada ‘aqad, tetapi sementara perkataan.
Perwujudan
B.
PENGERTIAN ‘AQAD
Menurut
bahasa A’qad mempunyai beberapa arti, antara lain:
1.
Mengikat,
2.
Sambungan
3.
Janji
sebagaimana di jelaskan dalam Alqur’an:
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
Ya, siapa saja
menepati janjinya dan taku kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi
orang-orang yang taqwa (QS Ali Imran:76).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman tepatilah
janji-janjimu (QS Al- Maidah: 1)
Istilah’ahdu dalam Alquran mengacu kepada
pernyataan seeorang untuk mengerjakan sesuatu atau untuk tidak mengerjakan
sesuatu dan tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat
seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak,
tidak berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersbut, seperti yang
dijelaskan dalam surat Ali Imran: 76 bahwa janji tetap megikat orang yang
membuatnya.
Perkataan ‘aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian
atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang
menyetujui janji tersebut, serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan
dengan janji yang pertama. Terjadinya dua perikatan dua buah janji (ahdu) dari
dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut
perikatan (aqad).
Dari uraian di atas dapat dicermati, bahwa setiap
“aqdi (persetujuan) mencakupi tiga tahap, yaitu:
a.
Perjanjian (‘ahdu)
b.
Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih; dan
C.
RUKUN-RUKUN AQAD
1.
Rukun-Rukun Akad.
Rukun-Rukun akad sebagai berikut:
a.
‘Aqid, adalah orang yang berakad; terkadang
masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa
orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing
pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang
lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang
yang memiliki hak (‘aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.
b.
Ma’qud ‘alaih, ialah benda-benda yang di akadkan,
seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah
(pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
c.
Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan maksud pokok
mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad
jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari pemberi
kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok
akad ijarah yaitu memberikan manfaat dari seseorang kepada yang lain tanpa ada
pengganti.
d.
Shighat al-‘aqd ialah ijab Kabul. Ijab ialah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai
gambaran dalam kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun Kabul ialah perkataan
yang keluar dari pihak yang berakad pula yang di ucapkan setelah adanya ijab. Pengertian
ijab Kabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang
lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak
berhadapan, misalnya yang berlangganan majalah panjimas, pembeli mengrimkan
uang melalui po wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shigaht
al’aqd ialah:
1)
Shighat al’aqd harus jelas pengertiannya.
Kata-kata dalam ijab Kabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian,
misalnya seseorang berkata: “Aku serahkan barang ini” kalimat ini masih kurang
jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan apakah benda ini diserahkan sebagai
pemberian, penjualan, atau titipan. Kalimat yang lengkapnya ialah: “Aku
serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau pemberian”.
2)
Harus bersesuain antara ijab dan Kabul. Antara
yang berijab dan menerima tidak boleh berbeda lafal, misalnya seseorang
berkata: “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”. Tetapi yang
mengucapkan Kabul berkata: “Aku terima benda ini sebagai pemberian”. Adanya
kesimpangsiuran dalam ijab dan Kabul akan menimbulkan persengketaan yang
dilarang oleh Islam, karena bertentangan dengan islah di antara manusia.
3)
Menggambarkan kesungguhan kemauan dari
pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau
ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling
merelakan.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu
cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat
menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh menerangkan beberapa cara
yang ditempuh dalam akad, yaitu:
1)
Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua ‘aqid
berjauhan tempatnya, maka ijab Kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar inilah
para fukaha membentuk kaidah.
2)
Isyarat. Bagi orag-orang tertentu, akad atau ijab
dan Kabul, tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan. Maka orang yang
bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat mengucapkan ijab Kabul dengan
ucapan dan tulisan. Dengan demikian, Kabul atau akad dilakukan dengan isyarat.
3)
Ta’athi (saling memberi), seperti seorang yang
melakukan pemberian kepada seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang
dan orag tersebut memberikanimbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar
imbalannya. Dengan contoh yang jelas dapat di uraikan sebagai berikut: seorang
pengail ikan sering memberikan ikan hasil pancingannya kepada seorang petani,
petani ini member beberapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan
tanpa disebutkan besar imblan yang dikehendaki oleh pemberi ikan. Proses di
atas itu dinamakan ta’athi, tetapi menurut sebagian ulama, jula beli seperti
itu tidak dibenarkan.
4)
Lisan al-hal. Menurut sebagian ulama, apabila
seseorang meningalkan barang-barang dihadapan orang lain, kemudian dia pergi dan
orang yang ditinggali barng-barang itu berdiam diri saja, hal itu telah
dipandang ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang dan yang
menghadapi barang titipan ini dengan jalan dalalah al-hal.
2.
Syarat-syarat akad.
Setiap akad mempunyai syarat yang
ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan. Syarat-syarat terjadinya aka dada
dua macam:
a.
Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu
syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat umum
yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut:
1.
Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak
(ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seprti orang gila,
orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur), dank arena boros.
2.
Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.
Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh
orang mempunyai hak yang melakukannya, walaupun dia bukan’ aqid yang memiliki
barang.
4.
Janganlah akad itu yang dilarang oleh ‘syara’,
seperti jual beli musalamah (saling merasakan).
5.
Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah
sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbangan amanah (kepercayaan).
6.
Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum
terjadi Kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum
Kabul maka batallah ijabnya.
7.
Ijab dan Kabul mesti bersambung, sehingga bila
seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya Kabul, maka ijab tersebut
menjadi batal.
b.
Syarat-syarat yang bersifat khusu, yaitu
syarat-syarat yang wujudnya wajib dalam sebagian akad. Syarat khusus ini dapat
juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat
yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
D.
MACAM-MACAM AKAD
Para
ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi.
Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi dua, yaitu:
1.
Akad
sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hokum
dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan
akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini
dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu:
a.
Akad
yang nafisz (sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad yang dilangsungkan dengan
memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b.
Akad
mawquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi
ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsugkan dan melaksanakan akad ini,
seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam
kasus seperti ini, akad ini baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum
apabila jual beli itu dizinkan oleh wali anak kecil ini. Contoh lain dari akad
mawquf adalah yang disebut dalam fiqh dengan’aqad al-fudhuli. Misalnya, Ahmad
memberikan uang sebesar Rp. 2.000.000,- kepada Hasan untuk membeli seekor
kambing. Ternyata ditempat penjualan seekor kambing, uang Rp. 2000.000,- itu
tidak dapat memebeli dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dengan dua ekor
kambing. Apabila Ahmad menyetujui akad yang telah dilaksanakan Hasan itu maka
jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui Ahmad maka jual beli itu tidak
sah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap jual beli mawquf itu
sebagai jual beli yang batil..
Jika
dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih itu, para ulama
fiqh membaginya kepada dua macam, yaitu:
1.
Akad
yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak
tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizing pihak lain, seperti akad jual
beli dan sewa menyewa.
2.
Akad
yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti dalam akad
al-wakalah (perwakilan), al-‘ariyah (pinjam-meminjam), dan al-wadni’ah (barang
titipan).
Akad
yang mengikat bagi pihak-pihak yang melangsungkan akad itu dibagi leh para
ulama fiqh menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Akad
yang mengikat tidak dapat dibatalkan sama sekali. Akad perkawinan termasuk akad
yang tidak boleh dibatalkan, kecuali dengan cara-cara yang dibolehkan syara’,
seperti melalui talak dan al-khulu’ (tuntutan cerai yang diajukan istri kepada
suaminya dengan kesediaan pihak istri untuk membayar ganti rugi).
b.
Akad
yang mengikat, tetapi dapat dibatalkan atas kehendak kedua bela pihak, seperti
akad jual beli, sewa menyewa, perdamaian, al-muzara’ah (kerja sama dalam
pertaniaan), dan al-musaqah (kerja sama dalam perkebunan). Dalam akad-akad
seperti ini berlaku hak khiyar (hak memilih untuk meneruskan akad yang telah
memenuhi rukun dan syaratnya atau membatalkannya).
c.
Akad
hanya mengikat salah satu pihak yang berakad, seperti akad al-rahn dan
al-kafalah.
3.
Akad
yang tidak shahih, yaitu akad yang mendapat kekurangan pada rukun atau
syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan
tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian, ulama Hanafiyah membagi akad
yang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid.
Suatu
akad dikatakan batil apabila akad itu memenuhi salah satu rukunnya atau ada
larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas. Atau
terdapat unsure tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah satu
pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
Adapun
akad fasid menurut mereka merupakan suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan,
akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau
kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual,
sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli.
Jual
beli seperti ini, menurut ulama Hanafiyah, adalah fasid, dan jual beli ini
dianggap sah apabila unsure-unsur yang menyebabkan kefasidannya itu
dihilangkan, misalnya dengan menjelaskan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang
dijual, atau menjelaskan brand dan jenis kendaraan yang dijual.
Akan
tetapi jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa akad yang batil dan fasid mengandung
esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apa
pun. Ditinjau dari segi penamaanya, para ulama fiqh membagi akad kepada dua
macam, yaitu:
1.
Al-uqud
al-musamma, yaitu akad yang ditentukan namanya oleh syara’ serta dijelaskan
hukumnya, seperti jual beli, sewa meyewa, perserikatan, hibah, al-wakalah,
wakaf, al-hiwalah,al’jialah, wasiat, dan perkawinan.
2.
Al
uqud ghair al-musamma, ialah akad-akad penamaannya dilakukan oleh masyarakat
sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti
al-istishna’, dan ba’I al-wafa.
DAFTAR PUSTAKA
Sohari
sahrani, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Ru’fah
Abdullah, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Harjan Syuhada,
Fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Abu
Achmadi, fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Sunarso,
fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Mas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2002.
Ahmad , Idris. Fiqh Syafi'i. Volume 2. t.tp: Karya Indah,
2006.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulu>ghul Mara>m. Bandung:
Penerbit Khazanah PT Mizan Pustaka. 2010.
Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani
Press. 2005.
Kamil,
Muhammad Qasim. Halal Haram Dalam Islam. Depok: Mutiara Allamah Utama. 2014.
Komentar
Posting Komentar