PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI

BAB II
PEMBAHASAN
A.   PENGERTIAN PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan al-Mubadalah, sebagaimana Allah. Swt. berfirman:
لن تبور تجارة يرجوان      
Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (Fathir:29)
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut;
1.    menukar barang dengan barang atau  arang dengan uang uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar merelakan.
2.    تمليك عين مالية بمعاوضة باذن شرعي
“ Pemilikan  harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara”.
3.    مقابلة مال قابلين للتصرف باجاب وفبول على الواجه المأذون فيه
“Saling tukar menukar harta, saling menerima dapat dikelola (tasarruf) dengan ijab Qabul, dengan cara yang sesuai dengan Syara.
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan oleh syara’ dan disepakati.
Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai yakni benda-benda yang berharga dapat dibenarkan penggunaanya menurut Syara’.benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaanya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan lain-lainya.
Jual beli menurut ulama malikiah ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus.



B.   HUKUM JUAL BELI SYARAT
Rukun jual beli ada 3, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad)
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli.
Adanya kerelaan tidak dapat dilihat, sebab kerealaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketehui dengan tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukan kerelaan adalah ijab dan Kabul, Rasulullah SAW bersabda:
عن ابى هريرة ر ض عن النبي ص م قال لا يخترقن اثنان الا عن تراض
Dari Abi Hurairah r.a dai Nabi Saw bersabda: Janganlah dua orang yang jual belli berpisah, sebelum saling meridhai”(HR. Abu Daud Dan Turmuzi)
قال النبي ص م انما البيع عن تراض
Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan” (Riwayat Ibn Hibban Dan Ibn Majah)

Syarat-syarat Sah Ijab Qabul
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
1.    Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab  dan sealiknya.
2.    Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.
Beragama islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada pembeli yang tidak beragama islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan hamaba yang beragama islam sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin member jalan kepada orang-orang kafir untuk merendahkan mukmin, firma-Nya:
3.    ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
Dan Allah sejali-kali tidak member jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin (an-nisa:141).


Rukun jual beli ketiga ialah benda-benda atau barang yang diperjualbelikan (ma’kud ‘alaih).
Syarat-syarat benda yang menjadi objek ialah sebagai berikut.
1.  Suci atau mungkin disucikan sehingga tidak sah penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi, dan yang lainya, sabda Rasulullah yang artinya
Dari Jabir r.a. Rasullah Saw bersabda: sesungguhnyaAllah dan Rasul-Nya mengaramkan penjualan arak, bangakai, babi, dan berhala”
(HR. Bukhari Muslim)
2.    Memberi manfaat menurut syara’, maka dilarang jual beli benda-benda yang tidak boleh diambil maanfaatnya menurut syara’, seperti menjual babi, kala cicak, dan lainya.
3.    Jangan di taklilkan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu.
4.    Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan kujual motor ini kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah. Sebab jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi oleh apapun kecuali ketentuan syara’.
5.    Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat. Tidaklah sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi.
6.    Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak se-izin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.
7.    Diketahui (dilihat). Barang yang deiperjual belikan harus diketahui banyaknya, beratnya talaranya, atau ukuran-ukuran yan lainya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan kerguan salah satu pihak.  
Rukun jual beli kedua ialah dua atau beberapa orang yang melakukan akad. Berikut ialah syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad:
1.    Baligh berakal, agar tidak mudah ditipu orang. Oleh karena itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya, Allah Swt berfirman:
ولا تؤمنواالسفهاء اموالكم
Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh (An-nisa:5)
2.    Beragama islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan hamba yang beragama islam itu, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin member jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin, firmanya:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
Dan Allah sejali-kali tidak member jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin (an-nisa:141).[1]




















C. PENGERTIAN MURABAHAH
     Kata murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa keuntungan yang ingin diperoleh.
     Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian), dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual. Murabahah bukanlah merupakan transaksi dalam bentuk memberikan pinjaman/kredit pada orang lain dengan adanya penambahan interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli komoditas.
Jual beli ini menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang diinginkan.
     Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan habis penangguhan pembayaran dan harga yang ditentukan dengan dasarfixed mark up profit. Harga mark up ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena jika pihak yang didanai mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah yang harus dibayar tetap sama.  Mark up sebagai tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya dalam memeroleh barang dan resiko yang dihadapi dalam upaya perolehan tersebut. Dalam transaksi ini, A meminta B untuk membeli komoditi dengan spesifikasi tertentu, setelah B mendapatkannya menjual kepada A dengan murabahah.
Dasar Hukum Jual-Beli Murabahah
     Murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil (landaan syariah) yang memerbolehkan praktik akad jual beli murabahah adalah sebagai berikut :

.       QS. An Nisa : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ...
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….”
       Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Di antara transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung bunga (riba) sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan uunsur bunga, namun hanya menggunakan margin. Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan kewajiiban masing-masing.
b.      QS. Al Baqarah : 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا...
“...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”
       Dalam ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.
c.       Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka". (HR.al-Baihaqi, Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)
       Hadits ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang yang terdapat dalam jual beli murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.
3.      Syarat-Syarat Murabahah dan Ketentuan Umum Murabahah
a.       Syarat Murabahah yaitu :
1)      Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela).
2)      Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
3)      Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.
b.      Ketentuan Umum Murabahah diantaranya sebagai berikut :
1)      Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2)      Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.
3)      Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah.
4)      Dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5)      Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah.
4.      Penerapan Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
       Cara operasi bank syariah hakikatnya sama saja dengan bank konvensional, yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktik lainnya yang menurut syariat islam tidak dibenarkan. Bank ini memang tidak menggunakan konsep bunga seperti bank konvensional lainnya.
       Produk dalam bank syariah yaitu pembiayaan dengan margin (murabahah), dalam produk ini terjadi transaksi antara pembeli (nasabah) dan penjual (bank). Bank dalam hal ini membelikan barang yang dibutuhkan nasabah (nasabah yang menentukan spesifikasinya) dan menjualnya kepada nasabah dengan harga plus keuntungan. Jadi produk ini, bank menerima laba atas jual beli. Harga pokoknya sama-sama diketahui oleh dua belah pihak. Apa yang dibeli nasabah, uang atau pinjaman? Tentu bukan uang dan bukan juga pinjaman, karena menjual  uang dengan benda sejenis dengan imbalan lebih adalah riba dalam terminologi islam. Nasabah menerimanya dalam produk yang diinginkan melalui bank, produk ini biasanya modal kerja dan berjangka pendek.
D.   JUAL BELI SALAM
  Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari. Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual.
 Dasar Hukum Salam
Landasan syariah dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:
a.    Dalam surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.”Ia lalu membaya ayat tersebut.
b.   Al-Hadits
     Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
      Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah) .
3.      Rukun, Syarat, dan Sifat Akad Salam
    Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:
a.       Muslam atau pembeli
b.      Muslam ilaih atau penjual
c.       Modal atau uang
d.      Muslam fiihi atau barang
e.       Sighat atau ucapan
     Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a.       Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
b.      Barangnya menjadi utang bagi penjual
c.       Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.
d.      Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu.
e.       Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda.
f.       Disebutkan tempat menerimanya.
4.      Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
    Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a.       Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
b.      Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
c.       Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d.      Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.
5.      Aplikasi Salam di Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.














E.   JUAL BELI ISTIHNA
     Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
     Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.
Dasar Hukum Istishna’
 Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw.
minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.”Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
      Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.
Syarat dan Rukun Istishna’
      Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
a.       Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan.
b.      Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c.       Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan.
d.      Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e.       Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
f.       Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
a.       Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta.
b.      Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli.
c.       Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.













BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN
A. PENUTUP/KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.
Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di atas.
Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.














DAFTAR PUSTAKA
Sohari sahrani, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Harjan Syuhada, Fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Abu Achmadi, fikih,  Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Sunarso, fikih,  Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Mas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
 Ahmad , Idris. Fiqh Syafi'i. Volume 2. t.tp: Karya Indah, 2006.
 Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulu>ghul Mara>m. Bandung: Penerbit Khazanah PT Mizan Pustaka. 2010.
 Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press. 2005.
Kamil, Muhammad Qasim. Halal Haram Dalam Islam. Depok: Mutiara Allamah Utama. 2014.















[1] suhendi, FIQh MUAMALAH, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 70.

Komentar

Postingan Populer