PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI
Perdagangan atau
jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan al-Mubadalah,
sebagaimana Allah. Swt. berfirman:
لن تبور تجارة يرجوان
Mereka mengharapkan
tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (Fathir:29)
Menurut istilah
(terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut;
1. menukar barang dengan barang atau arang dengan uang
uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas
dasar merelakan.
2. تمليك عين مالية بمعاوضة باذن شرعي
“ Pemilikan harta benda dengan jalan
tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara”.
3. مقابلة مال قابلين للتصرف باجاب وفبول على
الواجه المأذون فيه
“Saling tukar
menukar harta, saling menerima dapat dikelola (tasarruf) dengan ijab Qabul,
dengan cara yang sesuai dengan Syara.
Dari beberapa
definisi diatas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian
tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara
kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan oleh syara’ dan
disepakati.
Benda dapat mencakup
pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai
yakni benda-benda yang berharga dapat dibenarkan penggunaanya menurut
Syara’.benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak
dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat
dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaanya (mitsli) dan tak ada yang
menyerupainya (qimi) dan lain-lainya.
Jual beli menurut
ulama malikiah ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli
yang bersifat khusus.
B.
HUKUM JUAL BELI SYARAT
Rukun jual beli ada
3, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli),
dan ma’kud alaih (objek akad)
Akad ialah ikatan
kata antara penjual dan pembeli.
Adanya kerelaan tidak
dapat dilihat, sebab kerealaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat
diketehui dengan tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukan kerelaan
adalah ijab dan Kabul, Rasulullah SAW bersabda:
عن ابى هريرة ر ض عن
النبي ص م قال لا يخترقن اثنان الا عن تراض
“Dari Abi Hurairah r.a
dai Nabi Saw bersabda: Janganlah dua orang yang jual belli berpisah, sebelum
saling meridhai”(HR. Abu Daud Dan Turmuzi)
قال النبي ص م انما
البيع عن تراض
“Rasulullah Saw
bersabda: Sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan” (Riwayat
Ibn Hibban Dan Ibn Majah)
Syarat-syarat Sah
Ijab Qabul
Syarat-syaratnya ialah
sebagai berikut:
1. Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja
setelah penjual menyatakan ijab dan sealiknya.
2. Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan
qabul.
Beragama islam, syarat ini khusus untuk
pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual
hambanya yang beragama islam kepada pembeli yang tidak beragama islam, sebab
besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan hamaba yang beragama islam
sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin member jalan kepada orang-orang
kafir untuk merendahkan mukmin, firma-Nya:
3. ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
Dan Allah
sejali-kali tidak member jalan bagi orang kafir untuk menghina orang
mukmin (an-nisa:141).
Rukun jual beli
ketiga ialah benda-benda atau barang yang diperjualbelikan (ma’kud ‘alaih).
Syarat-syarat benda yang
menjadi objek ialah sebagai berikut.
1. Suci atau mungkin disucikan sehingga tidak sah penjualan
benda-benda najis seperti anjing, babi, dan yang lainya, sabda Rasulullah yang
artinya
“Dari Jabir r.a.
Rasullah Saw bersabda: sesungguhnyaAllah dan Rasul-Nya mengaramkan penjualan
arak, bangakai, babi, dan berhala”
(HR. Bukhari Muslim)
2. Memberi manfaat menurut syara’, maka dilarang jual beli
benda-benda yang tidak boleh diambil maanfaatnya menurut syara’, seperti
menjual babi, kala cicak, dan lainya.
3. Jangan di taklilkan, yaitu dikaitkan atau digantungkan
kepada hal-hal lain seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu.
4. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan kujual motor
ini kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah. Sebab
jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi
oleh apapun kecuali ketentuan syara’.
5. Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat. Tidaklah sah
menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi.
6. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain
dengan tidak se-izin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi
miliknya.
7. Diketahui (dilihat). Barang yang deiperjual belikan harus
diketahui banyaknya, beratnya talaranya, atau ukuran-ukuran yan lainya, maka
tidaklah sah jual beli yang menimbulkan kerguan salah satu pihak.
Rukun jual beli
kedua ialah dua atau beberapa orang yang melakukan akad. Berikut ialah
syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad:
1. Baligh berakal, agar tidak mudah ditipu orang. Oleh
karena itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh menjual harta
sekalipun miliknya, Allah Swt berfirman:
ولا تؤمنواالسفهاء
اموالكم
Dan janganlah kamu
berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh (An-nisa:5)
2. Beragama islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja
dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang
beragama islam sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan hamba
yang beragama islam itu, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin member
jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin, firmanya:
ولن يجعل الله
للكافرين على المؤمنين سبيلا
Dan Allah
sejali-kali tidak member jalan bagi orang kafir untuk menghina orang
mukmin (an-nisa:141).[1]
C. PENGERTIAN MURABAHAH
Kata murabahah
berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah
berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara terminologis adalah
pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak
yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga
pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau
keuntungan bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau
angsur.
Jual beli murabahah adalah
pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah
mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau
tambahan harga yang transparan. Akad ini merupakan salah satu bentuk
natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan
berapa keuntungan yang ingin diperoleh.
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjual memberikan
informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan
komoditas (harga pokok pembelian), dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin
dalam harga jual. Murabahah bukanlah merupakan transaksi dalam bentuk
memberikan pinjaman/kredit pada orang lain dengan adanya penambahan
interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli komoditas.
Jual beli ini menekankan
adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, dan adanya proses
penjualan kepada nasabah dengan harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya
beli dan tambahan profit yang diinginkan.
Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan habis penangguhan pembayaran dan
harga yang ditentukan dengan dasarfixed mark up profit. Harga mark up
ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena jika pihak yang
didanai mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah yang harus dibayar
tetap sama. Mark up sebagai tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik
dana berkaitan dengan jasanya dalam memeroleh barang dan resiko yang dihadapi
dalam upaya perolehan tersebut. Dalam transaksi ini, A meminta B untuk membeli
komoditi dengan spesifikasi tertentu, setelah B mendapatkannya menjual kepada A
dengan murabahah.
Dasar Hukum
Jual-Beli Murabahah
Murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan
atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits ataupun ijma ulama.
Di antara dalil (landaan syariah) yang memerbolehkan praktik akad jual beli
murabahah adalah sebagai berikut :
. QS.
An Nisa : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ...
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu….”
Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Di antara transaksi yang
dikategorikan batil adalah yang mengandung bunga (riba) sebagaimana terdapat
pada sistem kredit konvensional. Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak
ditemukan uunsur bunga, namun hanya menggunakan margin. Ayat ini juga
mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip
kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang menjelaskan
dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan kewajiiban masing-masing.
b. QS.
Al Baqarah : 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا...
“...dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”
Dalam ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum,
serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli
murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk
dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan
salah satu jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.
c. Dari
Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual
beli itu harus dilakukan suka sama suka". (HR.al-Baihaqi, Ibnu Majah dan
Shahi menurut Ibnu Hibban)
Hadits ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum. Hadits ini
memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan dengan
adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala
ketentuan yang yang terdapat dalam jual beli murabahah, seperti penentuan harga
jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat
persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan
secara sepihak.
3. Syarat-Syarat
Murabahah dan Ketentuan Umum Murabahah
a. Syarat
Murabahah yaitu :
1) Pihak
yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa),
dan mereka saling meridhai (rela).
2) Khusus
untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang
akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
3) Harga
dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini
dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.
b. Ketentuan
Umum Murabahah diantaranya sebagai berikut :
1) Jual
beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak
kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2) Adanya
kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya
lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.
3) Ada
informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga
diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah.
4) Dalam
system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin
kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu
tidak ditetapkan.
5) Transaksi
pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka
tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi
penjual kedua dengan pembeli murabahah.
4. Penerapan
Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Cara operasi bank syariah hakikatnya sama saja dengan bank konvensional, yang
berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktik lainnya yang menurut syariat
islam tidak dibenarkan. Bank ini memang tidak menggunakan konsep bunga seperti
bank konvensional lainnya.
Produk dalam bank syariah yaitu pembiayaan dengan margin (murabahah), dalam
produk ini terjadi transaksi antara pembeli (nasabah) dan penjual (bank). Bank
dalam hal ini membelikan barang yang dibutuhkan nasabah (nasabah yang
menentukan spesifikasinya) dan menjualnya kepada nasabah dengan harga plus
keuntungan. Jadi produk ini, bank menerima laba atas jual beli. Harga pokoknya
sama-sama diketahui oleh dua belah pihak. Apa yang dibeli nasabah, uang atau
pinjaman? Tentu bukan uang dan bukan juga pinjaman, karena menjual uang
dengan benda sejenis dengan imbalan lebih adalah riba dalam terminologi islam.
Nasabah menerimanya dalam produk yang diinginkan melalui bank, produk ini
biasanya modal kerja dan berjangka pendek.
D. JUAL BELI SALAM
Secara terminologi,
jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau
menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan
pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian
hari. Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya,
hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual.
Dasar Hukum
Salam
Landasan syariah dari jual
beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:
a. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”
Dalam kaitan ayat
tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi
bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa
salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh
Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.”Ia lalu membaya ayat tersebut.
b. Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah
dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan (untuk jangka
waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barang siapa
melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:“Tiga hal
yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk dijual.” (HR Ibnu Majah) .
3. Rukun,
Syarat, dan Sifat Akad Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratnya.
Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:
a. Muslam
atau pembeli
b. Muslam
ilaih atau penjual
c. Modal
atau uang
d. Muslam
fiihi atau barang
e. Sighat
atau ucapan
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a. Uangnya
dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
b. Barangnya
menjadi utang bagi penjual
c. Barangnya
dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu
dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam
buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.
d. Barang
tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut
kebiasaan cara menjual barang itu.
e. Diketahui
dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada
keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat
itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda.
f. Disebutkan
tempat menerimanya.
4. Perbedaan
antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua
syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli
salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a. Dalam
jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual
beli biasa tidak perlu.
b. Dalam
jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang
dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
c. Dalam
jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas
dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas
yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan
hadits.
d. Dalam
jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam
jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika
pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita dapat
menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang,
telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak
salam.
5. Aplikasi
Salam di Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)
Salam adalah transaksi
jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu,
barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank
bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi
ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga
dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan,
ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya
kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara
cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari
nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya
disebut pembiayaan talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal bank
menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan
dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama
berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang
belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual
kembali secara tunai atau secara cicilan.
E.
JUAL BELI ISTIHNA
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau
membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada
pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran:
apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai
suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’
as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’
as-salam.
Dasar Hukum
Istishna’
Ulama yang
membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan
berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan
cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu
Umar r.a. bahwa Rasulullah saw.
minta dibuatkan cincin
dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak
tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar,
melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini
dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.”Kemudian
beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya
selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin
untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’
telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum
muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat
dibutuhkan.
Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai
berikut:
a. Bai’
istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang
dipesan.
b. Bai’
istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c. Dalam
bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai
permintaan pemesanan.
d. Pembayaran
dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e. Setelah
akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali
terhadap isi akad yang sudah disepakati.
f. Jika
objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat
menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’
sebagai berikut:
a. Al-‘Aqidain
(dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta.
b. Shighat,
yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah
pihak, yaitu penjual dan pembeli.
c. Objek
yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.
BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN
A. PENUTUP/KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu
diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia
dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun
demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.
Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat
jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab
kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang
harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di atas.
Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan
rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda
hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.
DAFTAR PUSTAKA
Sohari sahrani, Fikih
Muamalah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Ru’fah Abdullah, Fikih
Muamalah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
Harjan Syuhada, Fikih, Pt
Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Abu Achmadi, fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Sunarso, fikih, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Mas’adi, Ghufron. Fiqh
Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
Ahmad , Idris. Fiqh Syafi'i. Volume 2.
t.tp: Karya Indah, 2006.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulu>ghul
Mara>m. Bandung: Penerbit Khazanah PT Mizan Pustaka. 2010.
Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari.
Jakarta: Gema Insani Press. 2005.
Kamil, Muhammad Qasim.
Halal Haram Dalam Islam. Depok: Mutiara Allamah Utama. 2014.
Komentar
Posting Komentar